A. Sejarah Dinasti Bani Abbasiyah Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abu Al-Abbas, nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Saffah Muhammad
ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abbas pada tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Bani Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang dilakukan oleh Abu Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M. Gelar as-Shaffah “bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan belakangan oleh para penulis sejarah sehubung dengan kebijakannya membunuh seluruh keturunan Umayyah dan semua lawan politiknya termasuk kelompok Syiah yang sebelumnya membantu Abbasiyah menjatuhkan dinasti Bani Umayyah. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbas menjadi lima periode, yaitu: [1] 1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. 2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. 3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua. 5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Menurut Ira M. Lapidus menyederhanakan fase dinasti Bani Abbas menjadi dua, yaitu:[2] 1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M). 2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M). Menurut Muhammad Hudlari Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:[3] 1. Periode kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M) 2. Periode berkuasanya Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M) 3. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447 H/945-1055 M) 4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83 tahun (447-530 H/1005-1136 M) 5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M) Pada periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode pertama ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri dinasti Abbasiyah, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu, Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya yaitu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya, Abu Ja’far Al- Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:[4] 1) Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. 2) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. 3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. 4) Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara 5) Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. 6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. 7) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha- usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India. Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.[5] Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar
pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan
khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809-813 M), Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[6] Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi,
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga kebersihannya. Iapun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah. Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik.[7] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800
orang dokter. Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan, dan penelitian.[8] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur. Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang Persia.[9] Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. [10] mereka menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun, faham mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani.
Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an. [11] Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang
lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9. Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan. Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan Sultan-sultan yang menguasai ibu
kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid. Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah 1) Dengan ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab 2) Dalam stuktur Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri ) 3) Terbentuknya militer professional pada Bani Abbas 4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12] Adapun seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut:[13] 1) Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M 2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M 3) Abu Abdullah Muhammad al-
Mahdi 158-169 H/775-785 M 4) Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M 5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 6) Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M 8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 9) Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M 10)Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M 12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 13)Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M 15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 16)Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M 18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 19)Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M 21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 22)Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M 24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M 25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 26)Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M 28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 29)Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 30)Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M 32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 33)Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M 34)Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir
575-622 H/1180-1225 M 35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M 36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M 37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol
di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo,
Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:[14] 1) Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M 2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 3) Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M 4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 5) Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M 6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 7) Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali. 8) Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali. 9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali. 10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali. 12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali. 13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M 15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M 17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M 19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 20)Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali. 22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. Jabatan khalifah yang di sandang
oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambul oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya. B. Ilmu-Ilmu Yang
Dikembangkan Pada Masa
Dinasti Bani Abbasiyah Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu
dibedakan menjadi dua yaitu ilmu
naqli dan ilmu aqli.[15] Dengan klasifikasinya sebagai berikut: Ilmu Naqli 1) Ilmu Tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para sahabat besarm, termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan pendapat orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil). Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda (w. 127 H) menyandarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya serta Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya kepada para sahabat yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang Yahudi. Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al- Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis). Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn Baadr al- Ishfahani (w. 322 H) dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid, Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar- Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf, dan lain-lain. Mereka
menganut paham Mu’tazilah. [16] 2) Ilmu Hadis Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang enam) yaitu al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim, Ibnu Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah, Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidzi, dan al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i. 3) Ilmu Fiqih Tokohnya adalah Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M) dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar, Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha, Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan Ahmad Ibn Hambal (780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad. Para fuqaha terbagi menjadi dua golongan, yaitu: Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali hukum, pemukanya Abu Hanifah. 4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam Tokohnya adalah Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab al-Allaf, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din, Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain. 5) Ilmu Kalama tau Theologi Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah Washil bin Atha’ (w. 748 M), al-Nazam (185-221 H), dan al-Jahir (w. 256 H), sedangkan golongan dari Ahli Sunnah seperti Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M), Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H). 6) Ilmu Tarikh atau Sejarah Tokohnya adalah Ibnu Hasyim (abad ke 8), Ibn Sa’d (abad ke 9), dan Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab Akhbarul Rasul wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings) tentang sejaarh manusia hingga tahun 913, Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of Kings (Shah-Namah), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam
teori pendidikan, karyanya Muqaddimah. 7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan Ilmu Agama Lainya Tokohnya adalah al-Kindi (801-873 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farabi (870-950 M), al-Razi (865-925 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan al-Ghazali (1058-1111 M). 8) Ilmu Sastra Tokohnya adalah Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, Firdawsi dari Tus,
karya puisinya Shah-Namah (Book of Kings) merupakan karya
sastra monumental terdiri dari 60.000 kuplet (120.000 baris), dan Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke 9. 9) Ilmu Falak Tokohnya adalah Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang ahli falak Islam yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang dianggap orang karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai falak dan matematik. [17] Ilmu Aqli 1) Ilmu Kedokteran Tokohnya adalah al-Razi (Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30 jilid), al-A’sah (The Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan filsafat, teologi, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M) mengembangkang ilmu pengatahuan Hippocrates dan Galen maupun filsafat Aristoteles dan Plato yang berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan Barat.[18] 2) Ilmu Kimia Tokohnya adalah Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. 3) Ilmu Astronomi Tokohnya adalah Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa al-Nuju. Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis, Nasiruddin Tusi menyusun
table astronomi Ilkanian (Zij), menulis tentang astronomi dan kalender, matematika, dan geomancy, dan Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap alam, optic geometris, dan pelangi. 4) Ilmu Matematika Tokohnya adalah al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9 berasal dari Hindu di India. Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli matematika-astronom dari Persia, sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan umum dari teorema relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola, table susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric. 5) Ilmu Optik Tokohnya adalah Ali al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. 6) Ilmu Fisika Tokohnya adalah Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya geografi setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan al- Maqdisi (985M) dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan Nasiri Khusraw, penulis otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan, Safar-Namah (Book of Trave) dan Rawshanai- Namah (Book of Light) 7) Geografis Tokohnya adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan Zamankhsyari (w.1144 M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal JIbal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters). C. Pendidikan Islam
Pada Masa Dinasti Bani
Abbasiyah Lembaga Pendidikan Pada
Masa Dinasti Abbasiyah Lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,[19] yaitu: 1) Maktab atau kutub atau masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadis, fiqih, dan bahasa 2) Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani Abbasiyah merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab disana juga orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk semua laki-laki dan perempuan. Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya belajar di rumah saja. Mereka tidak diizinkan pergi ke maktab atau masjid untuk belajar. Itu pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu maka
mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: 1) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya pengaruh Persia terlihat dalam bidang pemerintahan, filsafat dan sastra, sedangkan pengaruh India dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. 2) Gerakan terjemahan berlangsung tiga fase,[20] yaitu: a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang lebih
banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. b) Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun 300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. c) Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. D. Proses Runtuhnya
Dinasti Bani Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal,[21] yaitu: 1) Lemahnya Khalifah Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah
lainnya diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad berhasil mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah ini dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M) dan dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Dengan demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas. 2) Persaingan antar bangsa Adanya kecenderungan bangsa- bangsa Maroko, Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan India, untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I, pengaruh Persia, periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh Persia
II, periode IV, pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi hanya di Baghdad saja. 3) Kemerosotan ekonomi Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti. 4) Konflik keagamaan Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al- Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf
pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam. Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah,[22] yaitu: 1) Perang Salib Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. 2) Serangan Hulagu Khan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Bani Abbasiyah terbentuk melalui kudeta atau revolusi yang dilakukan oleh Abu Abbas as-Shaffah dengan dukungan kaum Mawali dan Syiah terhadap dinasti Umayyah di pusat kota Damaskus pada tahun 132 H/750 M. Gelar as-Shaffah “bloodshedder” bearti “yang haus darah” diberikan belakangan oleh para penulis sejarah sehubung dengan kebijakannya membunuh seluruh keturunan Umayyah dan semua lawan politiknya termasuk kelompok Syiah yang sebelumnya membantu Abbasiyah menjatuhkan dinasti Bani Umayyah. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbas menjadi lima periode, yaitu: [1] 1) Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama. 2) Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama. 3) Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua. 4) Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki kedua. 5) Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad. Menurut Ira M. Lapidus menyederhanakan fase dinasti Bani Abbas menjadi dua, yaitu:[2] 1) Masa awal dinasti Bani Abbas (750-833 M). 2) Masa kemunduran dinasti Bani Abbas (833-945 M). Menurut Muhammad Hudlari Bek, kekuasaan Bani Abbasiyah ada lima periode, yaitu:[3] 1. Periode kekuatan dan penuh karya, berlangsung 100 tahun (132-232 H/750-847 M) 2. Periode berkuasanya Mamalik Turki, berlangsung 102 tahun (232-334 H/847-945 M) 3. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Buwaihi, berlangsung 113 tahun (334-447 H/945-1055 M) 4. Periode berkuasanya raja- raja dinasti Saljuk, berlangsung 83 tahun (447-530 H/1005-1136 M) 5. Periode Bani Abbasiyah mendapat kembali pengaruh politiknya, berlangsung 126 tahun (530-656 H/1135-1258 M) Pada periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Periode ini berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode pertama ini berakhir, pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik. Meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang. Masa pemerintahan Abu Al- Abbas, pendiri dinasti Abbasiyah, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Oleh karena itu, Pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah peminpin selanjutnya yaitu khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan Syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaitnya, dibunuh oleh Abu Muslim Al-Khurasani atas perintah Abu Ja’far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Selanjutnya, Abu Ja’far Al- Manshur melakukan perubahan mendasar bagi perkembangan dinasti Abbasiyyah sebagai Negara adikuasa di masa mendatang, yaitu:[4] 1) Pada tahun 762 M, Abu memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Dengan demikian, ibu kota pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. 2) Mengangkat sejumlah personil atau aparat untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. 3) Di bidang pemerintahan, Al- Manshur menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. 4) Membentuk lembaga protokol Negara dan sekretaris Negara 5) Membentuk kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. 6) Menunjuk Muhammad ibn Abd Al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. 7) Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah di tingkatkan peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dahulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa Al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah, sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat dan memantapkan keamanan daerah pembatasan. Di antara usaha- usahanya tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia, dan Cicilia pada tahun 756-758 M. ke Utara, bala tentaranya melintasi pegunungan
Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantive V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bazantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India. Pada masa Al-Manshur, pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, “Innama ana Sulthan Allah fi ardhihi”, artinya sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi- Nya.[5] Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar
pelanjut nabi sebagai pada masa al-Khulafa al-Rasyadun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, dalam penggunaan
khalifah disebut “Khalifah Allah”, artinya penguasa yang diangkat oleh Allah. Dalam dinasti Abbasiyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar tahta”, seperti Al-Manshur adalah “gelar tahta” Abu Ja’far. “gelar tahta” itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya. Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu Al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada delapan khalifah sesudahnya, yaitu Al-Mahdi (775-785 M), Al-Hadi (775-786 M), Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), Al-Amin (809-813 M), Al- Ma’mun (813-833 M), Al- Mu’tashim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[6] Pada masa khalifah Al-Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan disektor pertanian, melalui irigasi,
dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Serta dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting. Pada masa khalifah ketiga ini, para tahanan penjara yang sebelumnya dipenjara sebelum ia memerintah dikeluarkan kecuali yang melakukan kesalahan. Kemudian iapun membuat jalan untuk menuju Mekkah dan membangun perairan dari sumur- sumur besar untuk minum para musafir, dan dialirkan ke penjara-penjara serta dijaga kebersihannya. Iapun merehabilitasi masjid Al-Haram dan ia menghilangkan nama al- Walaid bin Abdil Malaik dari dinding masjid Al-Haram dan diganti namanya. Kemudian ia juga membuat kantor-kantor pos surat untuk penduduk Mekkah, Madinah, dan Yaman, dan menunjuk wakil-wakil raja di berbagai Daulat Abbasiyah. Pada masa khalifah al-Mahdi, Baghdad menjadi pusat perdagangan internasional dan perkembangan berbagai ilmu, seperti Assyiir hikmah, adab,, dan musik.[7] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid (786-809 M), dan putranya Al- Ma’mun (813-833 M), daulat Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya. Pada masa Al- Harun Al-Rasyid sebagai khalifah menggantikan khalifah Al-Mahdi, kekayaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800
orang dokter. Di samping itu, pemandian pamandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada masa keemasannya. Pada masa inilah Negara Islam menempatkan dirinya sebagai Negara terkuat dan tak tertandingi. Dalam tradisi Persia terdapat Jundishapur Academy, lembaga yang menjadi tempat menyimpan puisi-puisi dan cerita-cerita untuk raja pada Sasania, kemudia Al-Harun Al-Rasyid melanjutkan tradisi itu dengan mendirikan Khizanat al-Hikmat yang berfungsi sebagai perpustakaan, tempat penerjemahan, dan penelitian.[8] Pada masa Al-Harun Al-Rasyid, sebelum meninggal ia telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah, yaitu Al- Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian Barat sedangkan Al- Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur. Pada masa khalifah Al-Ma’mun (813-833 M), yang menggantikan khalifah Al-Harun Al-Rasyid, dikenal dengan khilafah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku digalakkan. Untuk menerjemahkan buku- buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan menganut agama lain yang lain. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bayt al- Hikmat, yang dahulu bernama Khizanat al-Hikmat, didirikan oleh Al-Harun Al-Rasyid. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, Etiopia, dan India. Di Bayt al-Hikmat, Al-Ma’mun memperkerjakan Muhammad Ibn Musa Al-Hawarijmi yang ahli dalam bidang aljabar dan astronomi, dan orang-orang Persia.[9] Sejak abad ke 9 M. Bayt al- Hikmat dijadikan tempat penerjemah karya-karya filosof klasik di bawah bimbingan Hunyn Ibn Ishaq. [10] mereka menerjemahkan buku-buku filsafat karya Galen, Aristoteles, dan Plato. Di Bayt al-Hikmat juga terdapat observatorium astronomi untuk meneliti perbintangan. Pada masa Al- Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Ma’mun, faham mu’tazilah menjadi madzhab resmi dinasti Bani Abbas (827 M), karena Al-Ma’mun penganut aliran Mu’tazilah dan banyak dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan falsafat Yunani.
Harun Nasution menjelaskan bahwa faham Mu’tazilah yang dijadikan alat oleh al-Ma’mun untuk menguji para pemuka agama dan hakim adalah ajaran tentang kemakhlukan Al-Qur’an. [11] Dalam pandangan Mu’tazilah, al-Qur’an tidak qadim (dahulu), tetapi muhdats (baru). Karena sebagian (ayat) Al-Qur’an diturunkan lebih dahulu dari yang lainnya sedangkan sesuatu yang qadim tidak mungkin didahului oleh yang
lain (idz al-qadim huwa ma la yataqaddamuh ghayruh). Aliran Mu’tazilah beragumentasi dengan Al-Quran surat Al-Hijr ayat 9. Pada masa Al-Mu’tashim (833-842 M), sebagai khalifah selanjutnya, memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keteribatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat. Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan- gerakan itu seperti gerakan Syi’ah dan konflik antarbangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semua dapat dipadamkan. Pada Masa Al-Watsiq, sebagai khalifah selanjutnya. Al-Watsiq berusaha melepaskan diri dari pengaruh Turki dengan memindahkan ibu kota dari Baghdad ke Samarra. Namun, khalifah Al-Watsiq menjadi mudah dikuasai oleh tentara pengawal Turki. Kemudian khalifah Al-Watsiq digantikan oleh Al-Mutawakkil sebagai khalifah besar terakhir, khalifah sesudahnya umumnya lemah-lemah dan tidak dapat melawan tentara pengawal dan Sultan-sultan yang menguasai ibu
kota. Ibu kota kembali dipindahkan ke Baghdad oleh khalifah al-Mu’tadhid. Dari gambaran di atas terlihat bahwa, Terdapat beberapa perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah 1) Dengan ibukota Bagdad, pemerintahan menjadi jauh dari pengaruh Arab 2) Dalam stuktur Negara, Bani Abbas terdapat Wazir ( Perdana menteri ) 3) Terbentuknya militer professional pada Bani Abbas 4) Bani Abbas lebih menekankan kepada pembentukan peradaban Islam dan perkembangan kebudayaan daripada ekspansi[12] Adapun seluruh Khalifah Dinasti Bani Abbasiyah yang berkuasa berjumlah 37 orang, diantaranya sebagai berikut:[13] 1) Abu Abbas as-Saffah 132-136 H/749-754 M 2) Abu Ja’far al-Mansur 136-158 H/754-775 M 3) Abu Abdullah Muhammad al-
Mahdi 158-169 H/775-785 M 4) Abu Muhammad Musa al- Hadi 169-170 H/785-786 M 5) Abu Ja’far Harun ar- Rasyid 170-193 H/786-809 M 6) Abu Musa Muhammad al- Amin 193-198 H/809-813 M 7) Abu Ja’far Abdullah al- Ma’mun 198-218 H/813-833 M 8) Abu Ishaq Muhammad al- Mu’tashim 218-227 H/833-842 M 9) Abu Ja’far Harun al- Watsiq 227-232 H/842-847 M 10)Abu Fadl Ja’far Muhammad al-Mutawakkil 232-247 H/847-861 M 11)Abu Ja’far Muhammad al- Muntashir 247-248 H/861-862 M 12)Abu Abbas Ahmad al-Musta’in 248-252 H/862-866 M 13)Abu Abdullah Muhammad al- Mu’tazz 252-255 H/866-869 M 14)Abu Ishaq Muhammad al- Muhtadi 255-256 H/869-870 M 15)Abu Abbas Ahmad al- Mu’tamid 256-279 H/870-892 M 16)Abu Abbas Muhammad al- Mu’tadhid 279-289 H/892-902 M 17)Abu Muhammad Ali al-Muktafi 289-295 H/902-908 M 18)Abu Fadl Ja’far al-Muqtadir 295-320 H/908-932 M 19)Abu Mansur Muhammad al- Qahir 320-322 H/932-934 M 20)Abu Abbas Ahmad ar-Radhi 322-329 H/934-940 M 21)Abu Ishaq Ibrahim al-Muttaqi 329-333 H/940-944 M 22)Abu Qasim Abdullah al- Mustaqfi 333-334 H/944-946 M 23)Abu Qasim al-Fadl al-Mu’thi 334-363 H/946-974 M 24)Abu Fadl Abdul Kari math- Tha’I 363-381 H/974-991 M 25)Abu Abbas Ahmad al-Qadir 381-422 H/991-1031 M 26)Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im 422-467 H/1031-1075 M 27)Abu Qasim Abdullah al-muqtadi 467-487 H/1075-1094 M 28)Abu Abbas Ahmad al- Mustazhhir 487-512 H/1094-1118 M 29)Abu Mansur al-Fadl al- Murtasyid 512-529 H/1118-1135 M 30)Abu Ja’far al-Mansur ar- Rasyid 529-530 H/1135-1136 M 31)Abu Abdullah Muhammad al- Muqtafi 530-555 H/1136-1160 M 32)Abu Muzaffar al-Mustanjid 555-566 H/1160-1170 M 33)Abu Muhammad al-Hasan al- Mustadhi’ 566-575 H/1170-1180 M 34)Abu al-Abbas Ahmad an-Nashir
575-622 H/1180-1225 M 35)Abu Nasr Muhammad az- Zhahir 622-623 H/1225-1226 M 36)Abu Ja’far al-Mansur al- Mustanshir 623-640 H/1226-1242 M 37)Abu Ahmad Abdullah al- Musta’shim 640-656 H/1242-1256 M Khalifah dinasti Bani Abbasiyah terakhir yaitu al-Musta’shim yang dibunuh oleh bangsa Mongol
di bawah pimpinan Hulagu Khan yang menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M. Seorang pangeran keturunan Abbasiyah berhasil lolos dari pembunuhan dan meneruskan khilafah dengan gelar Khilafah yang berkuasa di bidang keagamaan saja di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo,
Mesir tanpa kekuasaan duniawi yang bergelar Sultan. Para khalifah dinasti Bani Abbasiyah yang ada di Mesir berjumlah 22 orang yaitu:[14] 1) Al-Mustanshir 659-660 H/1261-1261 M 2) Al-Hakim I 660-701 H/1261-1302 M 3) Al-Mustakfi I 701-740/1302-1340 M 4) Al-Watsiq I 740-741 H/1340-1341 M 5) Al-Hakim II 741-753 H/1341-1352 M 6) Al-Mu’tadhid 753-763 H/1352-1362 M 7) Al-Mutawakkil I 763-779 H/1362-1377, pertama kali. 8) Al-Mu’tashim 779 H/1377 M, pertama kali. 9) Al-Mutawakkil I 779-785 H/1377-1383 M, kedua kali. 10)Al-Watsiq II 785-788 H/1383-1386 M 11)Al-Mu’tashim 788-791 H/1386-1389 M, kedua kali. 12)Al-Mutawakkil I 791-808 H/1389-1406 M, ketiga kali. 13)Al-Musta’in 808-816 H/1406-1414 M 14)Al-Mu’tadhid II 816-845 H/1414-1441 M 15)Al-Mustakfi II 845-855 H/1441-1451 M 16)Al-Qa’im 855-859 H/1451-14-79 M 17)Al-Mustanjid 859-884 H/1455-1479 M 18)Al-Mutawakkil II 884-903 H/1479-1497 M 19)Al-Mustamsik 903-914 H/1497-1508 M, pertama kali. 20)Al-Mutawakkil III 914-922 H/1508-1516 M, pertama kali. 21)Al-Mustamsik 922-923 H/1516-1517 M, kedua kali. 22)Al-Mutawakkil III 923 H/1517 M, kedua kali. Jabatan khalifah yang di sandang
oleh keturunan Abbasiyyah di Mesir berakhir ketika diambul oleh Sultan Salim I dari Turki Utsmani yang menguasai Mesir pada tahun 923 H/1517 M. Sejak saat itu, hilanglah Khalifah Abbasiyah untuk selama-lamanya. B. Ilmu-Ilmu Yang
Dikembangkan Pada Masa
Dinasti Bani Abbasiyah Pada masa Bani Abbasiyah, ilmu
dibedakan menjadi dua yaitu ilmu
naqli dan ilmu aqli.[15] Dengan klasifikasinya sebagai berikut: Ilmu Naqli 1) Ilmu Tafsir Tafsir bi al-Ma’tsur (metode penafsiran oleh sekelompok mufassir dengan cara memberi interpretasi al-Qur’an dengan hadis dan penjelasan para sahabat besarm, termasuk pendapat ahli kitab yang sudah masuk Islam dan pendapat orang yang menguasai kitab Taurat dan Injil). Tokohnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, al- Suda (w. 127 H) menyandarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan sahabat-sahabat lainnya serta Muqotil Ibn Sulaiman yang menyandarkan tafsirnya kepada para sahabat yang mengutip dari Taurat yang diriwayatkan oleh orang Yahudi. Tafsir Diroyah/Tafsir bi al-Ra’yi/ Tafsir bi al-Aqli (menafsiran al- Qur’an dengan menggunakan akal lebih banyak daripada al- Hadis). Tokohnya adalah Abu Bakar al-Asham (w. 240 H), Abu Muslim Muhammad Ibn Baadr al- Ishfahani (w. 322 H) dengan tafsirnya Jami’ut Ta’wil 14 jilid, Ibn Jaru al-Asadi (w. 387 H), ar- Razy dengan tafsirnya Al- Muqthathaf, dan lain-lain. Mereka
menganut paham Mu’tazilah. [16] 2) Ilmu Hadis Tokohnya adalah al-Aimmah al- Sittah (imam yang enam) yaitu al-Bukhari, (194-256 H) dengan kitabnya al-Jami al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, al-Muslim (204-261 H) dengan kitabnya al- Jami Shahih Muslim, Ibnu Majjah (209-273 H) dengan kitabnya Sunan Ibnu Majjah, Abu Dawud (202-275 H) dengan kitabnya Sunan Abi Dawud, al-Tarmidzi (wafat 279 H) dengan kitabnya Sunan al-Tirmidzi, dan al-Nasa’I (225-303 H) dengan kitabnya Sunan al-Nasa’i. 3) Ilmu Fiqih Tokohnya adalah Abu Hanifah al- Nu’man Ibn Sabit (700-767 M) dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar, Malik Ibn Anas (713-795 M) dengan kitabnya al-Muwatha, Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M) dengan kitabnya al- Risalah, dan Ahmad Ibn Hambal (780—855 M) dengan kitabnya al-Musnad. Para fuqaha terbagi menjadi dua golongan, yaitu: Ahl al-Hadis yaitu golongan yang menyandarkan kepada hadis dalam mengambil hukum, pemukanya Ahmad Ibn Hambal dengan karyanya Musnad Ahmad ibn Hanbal Ahl al-Ra’yi yaitu golongan yang menggunakan akal di dalam menggali hukum, pemukanya Abu Hanifah. 4) Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam Tokohnya adalah Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab al-Allaf, Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-Din, Abu Nasr as- Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, dan lain-lain. 5) Ilmu Kalama tau Theologi Tokohnya adalah dari kalangan Mu’tazilah adalah Washil bin Atha’ (w. 748 M), al-Nazam (185-221 H), dan al-Jahir (w. 256 H), sedangkan golongan dari Ahli Sunnah seperti Abu al-Hasan al- Asy’ari (873-935 M), Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) , dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 944 H). 6) Ilmu Tarikh atau Sejarah Tokohnya adalah Ibnu Hasyim (abad ke 8), Ibn Sa’d (abad ke 9), dan Abu Ja’far Muhammad at-Tabari (835-923 M) karyanya Kitab Akhbarul Rasul wa Mulk (The Book of the Annals of Prophets and Kings) tentang sejaarh manusia hingga tahun 913, Firdawsi (penyair dan Bapak Sejarah Persia) karyanya Book of Kings (Shah-Namah), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) ahli dalam
teori pendidikan, karyanya Muqaddimah. 7) Ilmu Bahasa, Ilmu Tata Bahasa, Ilmu Al-Qori’ah, dan Ilmu Agama Lainya Tokohnya adalah al-Kindi (801-873 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farabi (870-950 M), al-Razi (865-925 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), dan al-Ghazali (1058-1111 M). 8) Ilmu Sastra Tokohnya adalah Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, Firdawsi dari Tus,
karya puisinya Shah-Namah (Book of Kings) merupakan karya
sastra monumental terdiri dari 60.000 kuplet (120.000 baris), dan Al-Jasyiari dengan karyanya Alf Lailat wa Laila atau One Thousand Nigh and One (Seribu Satu Malam) di pertengahan abad ke 9. 9) Ilmu Falak Tokohnya adalah Muhammad al- Fazzari (w.158 H) yang dipandang ahli falak Islam yang awal sekali dan menerjemah buku al-Sind Hind yang dianggap orang karangan Rahma Sidhanta yang mengandung banyak info mengenai falak dan matematik. [17] Ilmu Aqli 1) Ilmu Kedokteran Tokohnya adalah al-Razi (Rhazes) (865-925 M), karyanya Al-Hawi (Continens) (30 jilid), al-A’sah (The Nerves), dan al-Jami (The Universal) menuliskan filsafat, teologi, matematika, astronomi, dan ilmu pengetahuan alam, dan Ibn Sina (Avicenna) (980-1037 M) mengembangkang ilmu pengatahuan Hippocrates dan Galen maupun filsafat Aristoteles dan Plato yang berpengaruh terhadap alam berfikir Timur dan Barat.[18] 2) Ilmu Kimia Tokohnya adalah Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak. 3) Ilmu Astronomi Tokohnya adalah Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al- Qanun al-Mas’udl fi al-Hai’a wa al-Nuju. Ia secara akurat menentukan garis lintang dan garis bujur, mengukur secara teliti gaya berat khusus terhadap 18 batu dan logam mulia serta menguraikan kerja mata air alami sumur-sumur artesis, Nasiruddin Tusi menyusun
table astronomi Ilkanian (Zij), menulis tentang astronomi dan kalender, matematika, dan geomancy, dan Qutubuddin Shirazi menulis pandangan terhadap alam, optic geometris, dan pelangi. 4) Ilmu Matematika Tokohnya adalah al-Khawarizmi menemukan angka 0 pada abad ke 9. Sedangkam angka 1-9 berasal dari Hindu di India. Kemudian Abul Wafa (940-997 M) ahli matematika-astronom dari Persia, sebagai orang pertama yang menunjukkan keadaan umum dari teorema relativitas sinus segitiga yang berhubungan dengan bentuk bola, table susunan sinus, tangens, table kalkulasi tangens, memperkenalkan secant dan cosecant dan contoh hubungan antara enam garis trigonometric. 5) Ilmu Optik Tokohnya adalah Ali al-Hasan Ibn Haitsam (Alhaze) menulis buku tentang Optical Thesaurus, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. 6) Ilmu Fisika Tokohnya adalah Al-Bakhi (934 M) karyanya dijadikan dasar dan prinsip karya-karya geografi setelahnya oleh al-Istakhir (950 M), Ibnu Hawqal (975 M) dan al- Maqdisi (985M) dan al-Biruni menulis deskripsi tentang India, dan Nasiri Khusraw, penulis otobiografi-geografis abad ke 9 menulis Diwan, Safar-Namah (Book of Trave) dan Rawshanai- Namah (Book of Light) 7) Geografis Tokohnya adalah Abu al-Hasan Ali al-Mas’ud (abad ke 10) menulis buku Maruj al-Zahab tentang geografi, agama, adat istiadat dan lain-lain, dan Zamankhsyari (w.1144 M) seorang Persia, menulis Kitabul Amkina wal JIbal wal Miyah (The Book of Places, Mountains and Waters). C. Pendidikan Islam
Pada Masa Dinasti Bani
Abbasiyah Lembaga Pendidikan Pada
Masa Dinasti Abbasiyah Lembaga pendidikan pada masa Abbasiyah terdiri dari dua tingkatan,[19] yaitu: 1) Maktab atau kutub atau masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar bacaan, hitungan, dan tulisan serta tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Tafsir, Hadis, fiqih, dan bahasa 2) Tingkat pendalaman, para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seseorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Lembaga pendidikan pada masa Bani Abbasiyah disimbolkan dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa Bani Abbasiyah merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab disana juga orang dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban untuk semua laki-laki dan perempuan. Pada masa Bani Abbas, anak-anak perempuan hanya belajar di rumah saja. Mereka tidak diizinkan pergi ke maktab atau masjid untuk belajar. Itu pun bagi yang mampu memanggil guru ke rumahnya dan bagi yang tidak mampu maka
mereka tidak belajar. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayyah maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: 1) Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, misalnya pengaruh Persia terlihat dalam bidang pemerintahan, filsafat dan sastra, sedangkan pengaruh India dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. 2) Gerakan terjemahan berlangsung tiga fase,[20] yaitu: a) Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang lebih
banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. b) Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Mm’mun hingga tahun 300H. buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat, dan kedokteran. c) Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas. D. Proses Runtuhnya
Dinasti Bani Abbasiyah Setelah mengalami kemajuan, dinasti Bani Abbasiyah mengalami kemunduran dan kehancuran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Adapun faktor internal,[21] yaitu: 1) Lemahnya Khalifah Sejak berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad, khalifah Abbasiyah merdeka kembali, namun kekuasaannya hanya di daerah Baghdad saja. Sementara itu, wilayah Abbasiyah
lainnya diperintah oleh dinasti- dinasti kecil yang tersebar di sebelah timur dan barat Baghdad. Khalifah dinasti Bani Abbasiyah di Baghdad berhasil mengambil kesempatan dari kelemahan kaum Saljuk dan dari gerakan-gerakan pemisahan serta mengumumkan kemerdekaannya memerintah Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya. Usaha untuk mengembalikan kekuasaan khalifah dinasti Bani Abbasiyah ini dirintis oleh khalifah al- Mustarsyid (512-529 H/1118-1135 M), kemudian dilanjutkan oleh anaknya, khalifah al-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M) dan dilanjutkan oleh khalifah al-Muqtafi (530-555 H/1136-1160 M). Dengan demikian, sejak masa itu khalifah Bani Abbasiyah mempunyai pengaruh kembali, meskipun dalam wilayah yang terbatas. 2) Persaingan antar bangsa Adanya kecenderungan bangsa- bangsa Maroko, Mesir, Syia, Irak, Persia, Turki, dan India, untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak Abbasiyah berdiri. Periode I, pengaruh Persia, periode II, pengaruh Turki, Periode III, pengaruh Persia
II, periode IV, pengaruh Turki II, dan periode V, bebas pengaruh tetapi hanya di Baghdad saja. 3) Kemerosotan ekonomi Pada periode kemunduran, pendapatan Negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan wilayah kekuasaannya semakin menyempit, banyak terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingankannya pajak, dan banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri tidak lagi membayar upeti. 4) Konflik keagamaan Kekecewaan orang Persia terhadap cita-cita yang tak tercapai mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Mazuisme, Zoroasterisme, dan Mazzdakisme. Antara orang beriman dan kaum zindik terjadi konflik bersenjata seperti gerakan al-Afsyn dan Qaramitah. Adanya konflik Syiah dan Ahlussunnah. Terjadi Mihnah pada masa al-Ma’mun (813-833 M) yang menjadikan Mu’tazilah menjadi mazhab resmi Negara. Al- Mutawakkil (847-861 M) menghapus Mu’tazilah digantikan dengan golongan Salaf
pengikut Hambali yang tidak toleran terhadap Mu’tazilah yang rasional, menyempitkan horizon intelektual. Mu’tazilah bangkit kembali pada masa Buwaihi dan Saljuk, Asy’ariah menyingkirkan Mu’tazilah yang didukung al-Ghazali tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas entelektual Islam. Sementara itu, faktor eksternal kemunduran dinasti Bani Abbasiyah,[22] yaitu: 1) Perang Salib Perang antara umat Kristen dengan umat Islam yang berlangsung dari tahun 1095-1291 M, telah menelan banyak korban jiwa, ini menyebabkan khilafah Bani Abbasiyah menjadi lemah. 2) Serangan Hulagu Khan Hulagu Khan, cucu Jengis Khan, melakukan serangan-serangan menuju Baghdad dengan mengalahkan Khurasan di Persia dan Hasysyasyin di Alamut terlebih dahulu. Pada tanggal 10 Februari 656 H/1258 M, ia dan pasukannya sampai ke tepi kota Baghdad. Perintah untuk menyerah ditolak oleh khalifah al-Musta’shim (khalifah terakhir Bani Abbasiyyah), sehingga Baghdad dikepung dan dihancurkan
0 komentar:
Posting Komentar